- Back to Home »
- Hukum Berjabat Tangan Laki-laki dan perempuan
Posted by : Unknown
Saturday, November 15, 2014
HUKUM
BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN DENGAN TANPA
PENGHALANG
Ibnu
Hibban [20]
meriwayatkan
dari Umaimah binti Ruqaiqah, dan Ishaq ibn Rahawaih [21]
dari
Asma’ binti Yazid bahwa Rasulullah bersabda:
" إنـي لا أصافح النسـاء "
Maknanya:
"Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan
dengan kaum perempuan". (H.R. Ibn Hibban dan dishahihkannya. Sementara sanad Ishaq ibn Rahawaih dinyatakan Ibn
Hajar sebagai sanad yang
hasan)
Sedangkan
pernyataan Ummu ‘Athiyyah [22]
yang
mengatakan bahwa Rasulullah membaiat kaum perempuan, lalu ia membacakan firman
Allah:
) أن لا يشركن بالله شيئا ( (سورة الممتحنة
:12)
Maknanya:
"Janganlah kalian menyekutukan
Allah". (Q.S. al Mumtahanah :
12)
Juga
Rasulullah membaiat mereka untuk tidak berbuat niyahah (menjerit-jerit karena kematian
seseorang seperti yang dilakukan kaum jahiliyah). Tiba-tiba salah seorang
perempuan memegang tangannya sambil berkata: “Ada seseorang [perempuan] yang
membuatku bahagia, aku ingin membalas [kebaikannya]”. Rasulullah tidak berkata
apapun, lalu perempuan tersebut pulang dan kembali lagi [dengan orang yang
hendak ia datangkan], dan kemudian Rasulullah membaiat perempuan
tersebut.
Apa
yang dinyatakan Ummi ‘Athiyyah ini maknanya bukan bersentuhan antara kulit
dengan kulit. Tetapi maknanya ialah bahwa mereka; kaum perempuan dibaiat
Rasulullah dengan isyarat lewat tangan dengan tanpa ada persentuhan. Hadits ini
harus dipahami demikian hingga sejalan maknanya dengan hadits sebelumnya. Karena
dua hadits yang tsabit [yang
zhahirnya bertentangan] harus disatukan selama dimungkinkan; tidak boleh
membatalkan salah satu dari keduanya. Artinya jika memang kedua hadits tersebut
adalah hadits yang shahih.
Di
antara yang menguatkan pernyataan ini adalah apa yang dinyatakan Ibn al-Jauzi
dalam tafsirnya [23]:
“Dan telah shahih dalam hadits bahwa Rasulullah tidak pernah menyentuh perempuan
ketika membaiat, beliau membaiat perempuan hanya dengan ucapan”. Kemudian,
seorang ahli bahasa; Ibn al-Manzhur berkata [24]:
“Baiat [kepadanya] artinya mengambil janji darinya”.
Kemungkinan
kedua, bahwa baiat tersebut terjadi dengan berjabat tangan hanya saja dengan
adanya penghalang. Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, berkata [25]:
“Abu Dawud dalam al-Marasil
[26]
meriwayatkan dari as-Sya’bi bahwa Nabi ketika membaiat perempuan, disodorkan
kepadanya semacam kain [sebangsa burdah dari Qatar], kemudian nabi meletakkan
kain tersebut di atas tangannya, seraya berkata: “Sesungguhnya saya tidak
berjabat tangan dengan kaum perempuan”. Riwayat semacam ini diriwayatkan pula
oleh ‘Abd ar-Razzaq dari Ibrahim an-Nakha’i secara mursal [27].
Juga diriwayatkan oleh Sa’id ibn Manshur dari jalan Qais ibn Abi
Hazim.
Ibn
Ishaq dalam al-Maghazi meriwayatkan
dari Musa ibn Bukair dari Qais bin Abi Hazim dari Abban ibn Shalih, bahwa
Rasulullah (ketika membaiat) memasukan tangannya ke dalam satu bejana berisikan
air, lalu perempuan memasukkan tangannya pada air yang sama. Saat itu
kemungkinan ada banyak perempuan. Inilah apa yang ditulis oleh al-Hafizh Ibn
Hajar; artinya dalam satu kesempatan Rasulullah membaiat kaum perempuan dengan
berjabat tangan dengan adanya penghalang, dan dalam kesempatan lain membaiat
dengan mencelupkan tangan dalam air, kemudian kaum perempuan tersebut
mencelupkan tangannya masing-masing pada saat yang sama.
Dalam
kitab Tarikh Dimasyq (sejarah
Damaskus), riwayat tentang sepuluh orang perempuan Quraisy yang masuk Islam
bahwa mereka datang menghadap Rasulullah saat berada di al-Abthah untuk dibaiat,
al-Hafizh Ibn ‘Asakir berkata [28]:
“Hindun, salah seorang dari mereka berkata: Wahai Rasulullah apakah kami
memegang tanganmu ?. Rasulullah bersabda:
" إني لا أصافح النساء إني لا أصافح النساء إ ن قولي لمئة امرأة مثل
قولي لامرأة واحدة "
Maknanya:
"Sesungguhnya saya tidak berjabatan
tangan dengan kaum perempuan, dan sesungguhnya ucapanku bagi seratus orang
perempuan sama terhadap satu orang".
Disebutkan
pula bahwa Rasulullah meletakkan kain di atas tangannya dan kemudian kaum
perempuan tersebut menyentuhnya. Juga disebutkan bahwa Rasulullah didatangkan
kepadanya suatu bejana air, lalu beliau memasukkan tangannya kedalam bejana
tersebut, dan kaum perempuan tersebut melakukan hal serupa.
Dalam
riwayat ath-Thabarani [29]
diriwayatkan bahwa Rasulullah memerintah ‘Umar untuk membaiat kaum perempuan.
Dalam riwayat inipun pengertiannya dengan tanpa bersentuhan kulit, sebagaimana
diterangkan oleh ath-Thabarani sendiri. Kemudian, sebagaimana diriwayatkan oleh
Abu Dawud, diriwayatkan pula oleh Yahya ibn Salam dalam tafsirnya dari as-Sya’bi
bahwa kaum perempuan mengambil baiat dari Rasulullah dengan memegang tangannya
yang tertutup kain.
Dalam kitab Tharh at-Tastrib disebutkan [30]:
“Pernyataannya [‘Aisyah]: " Rasulullah membaiat kaum perempuan dengan ucapan",
artinya dengan tanpa berjabat tangan. Pernyataannya ini sekaligus menunjukkan
bahwa baiat bagi kaum laki-laki dengan ucapan dan berjabat tangan. Sebagian ahli
tafsir menyebutkan bahwa saat hendak membaiat kaum perempuan, Rasulullah
menyuruh untuk didatangkan suatu bejana air, kemudian ia memasukkan tangannya ke
dalam air bejana tersebut, lalu kaum perempuan memasukkan tangannya
masing-masing kedalam air yang sama. Satu pendapat mengatakan bahwa Rasulullah
berjabat tangan dengan mereka memakai kain penghalang pada tangannya. Pendapat
lain menyebutkan bahwa ‘Umar berjabat tangan dengan mereka [tanpa kain
penghalang] atas nama Rasulullah. Yang terakhir ini jelas sesuatu yang tidak
benar, bagaimana mungkin sahabat ‘Umar melakukan sesuatu yang tidak dilakukan
Rasulullah”.
Dalam
kitab yang sama disebutkan [31]:
“Dan para ahli fiqh dari kalangan sahabat kami (pengikut madzhab Syafi'i) dan
lainnya telah berkata bahwa menyentuh perempuan asing hukumnya haram, sekalipun
pada bagian yang bukan auratnya, seperti wajah”.
Dengan
demikian jelas kesalahan pemahaman Hizbuttahrir terhadap hadits shahih yang
diriwayatkan al-Bukhari, tentang pernyataan ‘Aisyah: [Demi Allah, tangan
Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan seorang perempuanpun saat membaiat]. Di
mana Hizbuttahrir menyatakan bahwa pernyataan ‘Aisyah tersebut hanya sebatas
pengetahuannya saja, tidak pada semua keadaan.
Adapun
lafazh hadits al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya [yang dipahami
salah/diselewengkan Hizbuttahrir] adalah sebagai berikut [32]:
“Mengkhabarkan kepada kami Ishaq [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada kami Ya’qub
ibn Ibrahim ibn Sa’ad [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada kami Ibn Akhi Ibn
Syihab dari pamannya [ia berkata]: Mengkhabarkan kepada kami ‘Urwah bahwa
‘Aisyah; isteri Rasulullah, mengkhabarkan kepadanya bahwa Rasulullah menguji
kaum perempuan yang hijrah kepadanya dengan firman Allah [yang berisikan tentang
baiat]:
) يا أيها النبي إذا جاءك المؤمنات يبايعنك على أن لا يشركن بالله
شيئا ولا يسرقن ولا يزنيـن ولا يقتلن أولادهن ولا يأتيـن ببهتان يفترينه بين أيديهن
وأرجلهن ولا يعصينك في معروف فبايعهن واستغفر لهن الله إن الله غفور رحيم
( (سورة الممتحنة
:12)
Maknanya:
"Wahai Nabi apabila datang kepadamu kaum
mukmin perempuan untuk berbaiat kepadamu untuk tidak menyekutukan Allah dengan
suatu apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka,
tidak mendatangkan kedustaan dari kebohongan [apa yang diperbuat] antara tangan
dan kaki-kaki mereka, tidak maksiat kepadamu dalam kebaikan, maka baiatlah
mereka dan mintakanlah ampun kepada Allah bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang". (Q.S. al Mumtahanah :
12)
‘Urwah
berkata: ‘Aisyah berkata: “Siapapun di antara perempuan yang setuju dengan
syarat tersebut, Rasulullah berkata kepadanya: Aku telah membaiatmu dengan
ucapan. Dan demi Allah tangan beliau tidak pernah menyentuh tangan perempuan
manapun saat membaiat. Beliau tidak membaiat perempuan kecuali dengan berkata:
“Aku telah membaiatmu akan hal itu”.
Dalam
riwayat Ibn Hibban perkataan ‘Aisyah sebagai berikut [33]:
“Rasulullah tidak pernah mengambil [janji] terhadap kaum perempuan kecuali
dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, dan telapak tangan beliau sama sekali
tidak pernah menyentuh telapak tangan perempuan. Beliau tidak melakukan apapun
ketika membaiat kaum perempuan kecuali dengan berkata: Aku telah membaiat kalian
dengan ucapan”.
Di
antara dalil lain yang menunjukkan keharaman berjabat tangan dengan perempuan
asing adalah sabda Rasulullah:
"لأنْ يُطْعَنَ أحَدِكُمْ بِمَخِيْطٍ مِنْ حَدِيْدٍ خَيْرٌ لَهُ
مِنْ أنْ يَمَسَّ امْرَأةً لاَ تَحِلُّ لَهُ"
رَوَاهُ الطّبَرَانـي فِي المُعْجَم الكَبِيْرِ منْ حَدِيْثِ مِعْقَلٍ بْنِ
يَسَارٍ وَحَسّنَهُ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ وَنُورُ الدّيْن الهَيْثَمِي
وَالمُنْذِري وَغَيْرُهُمْ
Maknanya : “Bila (kepala) salah
seorang dari kalian ditusuk dengan potongan besi maka hal itu benar-benar lebih
baik baginya (artinya lebih ringan) daripada (disiksa karena maksiat) memegang
perempuan yang tidak halal baginya". (H.R. ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dari hadits Ma'qil
bin Yasar dan hadits ini hasan menurut Ibnu Hajar, Nuruddin al Haytsami, al
Mundziri dan lainnya)
Makna
[يمس]
pada hadits di atas bukan “bersetubuh” (jima’), sebagaimana kesalahan pemahaman
semacam ini diyakini Hizbuttahrir. Tetapi makna yang benar adalah “menyentuh”,
sebagaimana pemahaman tersebut dipahami oleh perawi haditsnya sendiri; Ma’qil
ibn Yasar, sebagaimana diterangkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushannaf [34].
Kemudian
mengartikan [يمس] dengan “bersetubuh” adalah sebuah pemahaman dengan metode
metafor (majaz). Padahal metodologi
majaz tidak dipakai kecuali dengan ketentuan dalil aqli atau dalil naqli, dimana
dalil aqli tersebut sebagai sesuatu yang qath’i dan dalil naqli-nya sebagai sesuatu yang tsabit. Pemaknaan lafazh-lafazh dengan
makna majazi secara sembarangan adalah tindakan mengacaukan ('abats) teks-teks syari’at sebagaimana
dijelaskan oleh para ulama ushul fiqh, dari kalangan ulama madzhab Syafi’i,
Hanafi dan lainnya.
Kemudian
memaknai [يمس] dalam hadits di atas dengan “bersetubuh” adalah pemahaman yang
bertentangan dengan hadits shahih lainnya seperti sebuah hadits riwayat Muslim
[35]
bahwa Rasulullah bersabda:
" واليد زناها البطش "
Maknanya:
"Dan tangan perbuatan zinanya adalah
al-bathsy".
Pengertian
al-Bathsy dalam bahasa arab ada dua
[36];
al-Bathsy bisa berarti memegang
dengan kuat, dan al-Bathsy bisa
berarti menyentuh. Makna [يمس] di atas adalah dalam pengertian kedua, maksudnya perbuatan zina
tangan adalah menyentuh dengan tangan dengan cara berjabat tangan atau menyentuh
bagian badan perempuan ajnabiyyah lainnya dengan syahwat, atau tanpa syahwat
dengan tanpa penghalang. Kalau umpama tidak ada nash lain, kecuali satu hadits
ini, maka inipun cukup untuk menjelaskan keharaman menyentuh perempuan asing.
Dan kesalahan besar jika al-Bathsy
diartikan “bersetubuh”, karena jika demikian pengertiannya tentunya
Rasulullah tidak akan mengatakan lanjutan hadits tersebut yang
berbunyi:
" والفرج يصدق ذلك أو يكذبه "
Maknanya:
"Dan kemaluan [farji] membenarkan atau mendustakan hal tersebut
(dengan bersetubuh atau tidak)".
Setelah
penjelasan ini tidak ada alasan yang dapat dijadikan sandaran oleh Hizbuttahrir,
kecuali bahwa mereka orang-orang keras kepala tidak mau menerima
kebenaran.