- Back to Home »
- Hukum Ikhtilath Antara Kaum Laki-laki dan Perempuan
Posted by : Unknown
Friday, November 14, 2014
HUKUM
IKHTHILATH ANTARA KAUM LAKI-LAKI DAN KAUM PEREMPUAN
Ketahuilah
bahwa sikap berlebih-lebihan dalam agama adalah sikap yang tidak seharusnya.
Yang dituntut dalam hal ini adalah bersikap adil. Dengan demikian tidak boleh
bagi siapapun menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, atau
sebaliknya; menghalalkan sesuatu yang telah diharamkannya. Allah
berfirman:
) قل يا أهل الكتاب لا تغلوا في دينكم( (سورة المائدة:
77)
Maknanya:
"Katakanlah [wahai Muhammad] wahai ahli
kitab jangalah kalian berlebih-lebihan dalam beragama kalian". (Q.S. al
Ma-idah : 77)
Rasulullah
berkata kepada Ibn ‘Abbas di Muzdalifah saat melaksanakan haji: “Ambilkan batu
[untuk melempar jumrah] untukku”. Kemudian Ibnu ‘Abbas memungut batu seukuran khazaf (kerikil sedang). Rasulullah
bersabda: “(dengan) Batu-batu seukuran inilah (kalian melempar jumrah), jauhilah
oleh kalian intuk berlebih-lebihan dalam urusan agama, sesungguhnya
berlebih-lebihan dalam agama telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian”.
Ada
pendapat sebagian orang yang berlebih-lebihan dalam menyikapi hukum ikhthilath. Mereka mengharamkan apa yang
tidak diharamkan Allah. Mereka mengharamkan berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum
perempuan, padahal bukan khalwah
[berdua-duaan], tidak terdapat persentuhan antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan dan kaum perempuan tersebut menutup aurat [tidak membuka kepala atau
semacamnya]. Orang yang mengharamkan semacam ini hanya mengada-ada; mereka tidak
memiliki dalil.
Ikhthilath
terbagi kepada dua bagian; ikhthilath
yang boleh dan ikhthilath yang
diharamkan. Ikhthilath yang boleh
adalah yang tanpa adanya persentuhan antara tubuh dan bukan khalwat (berdua-duaan) yang diharamkan.
Ikhthilath yang diharamkan adalah
yang terdapat persentuhan [berbaur hingga bersentuhan] antara kaum laki-laki dan
perempuan. Hal ini seperti yang telah dijelaskan oleh Syekh Ibn Hajar al-Haytami
dalam al-Fatawa al-Kubra, dan syekh
Ahmad ibn Yahya al-Wansyuraysyi [ulama abad 10 H] dalam karyanya al-Mi’yar al-Mu’rib; sebuah kitab yang
memuat fatwa-fatwa ahli fiqh daerah Maghrib (Maroko).
Al-Bukhari
[4]
, Muslim [5]
, at-Tirmidzi [6]
dan an-Nasa’i [7]
meriwayatkan dari Abi Hurairah bahwa salah seorang sahabat datang kepada Nabi.
Nabi kemudian menyuruh para isterinya untuk menjamunya sebagai tamu, tapi mereka
berkata: “Kita tidak memiliki apapun (untuk jamuan) kecuali air”. Kemudian Nabi
berkata di hadapan para sahabatnya: “Siapakah yang siap menjadikannya sebagai
tamu?”. Salah seorang sahabat dari kaum Anshar berkata: “Saya wahai Rasulullah”.
Kemudian ia membawa tamu tersebut menuju rumahnya. Ia berkata kepada isterinya:
“Muliakanlah tamu Rasulullah ini !”. Sang isteri menjawab: “Kita tidak memiliki
jamuan kecuali makanan anak kita”. Sahabat Anshar berkata: “Siapkanlah makanan
itu, hidupkanlah lampu dan tidurkanlah anak-anakmu jika saat [kita hendak] makan
malam !”. Kemudian sang isteri menyiapkan makanan, menghidupkan lampu dan
menidurkan anak-anaknya. Setelah itu ia mendekati lampu seakan hendak
membenarkannya, namun ia malah memadamkannya. Kemudian kedua suami isteri ini
mengerak-gerakkan tangannya memperlihatkan kepada tamu seakan-akan sedang makan.
Akhirnya keduanya tidur malam dalam keadaan lapar. Saat menghadap Rasulullah di
pagi harinya, Rasulullah bersabda:
" ضحك الله الليلة أو عجب من فعالكما"
Kemudian
turun firman Allah:
) ويؤثرون
على أنفسهم ولو كان بهم خصاصة، ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون ( (سورة
الـحشر:9)
Makna
[ضحك]
dalam hadits di atas “meridlai” bukan berarti “tertawa” layaknya manusia.
(artinya Allah meridlai apa yang kalian kerjakan tadi malam). Sebagaimana hal
ini dinyatakan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari [8].
Dalam hal ini jelas sahabat Anshar dan isterinya duduk bertiga dengan tamu,
sebagaimana layaknya berkumpul saling berdekatan antara orang-orang yang sedang
makan. Dan Rasulullah dalam hal ini tidak mencegahnya.
Al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih [9]-nya
dari Sahl, berkata: “Ketika Abu Usaid as-Sa’idi menjadi pengantin, ia mengundang
Rasulullah dan para sahabatnya. Tidak ada yang membuat makanan bagi para tamu
(undangannya) tersebut juga tidak mendekatkan (membawa) makanan kepada mereka
kecuali isterinya; Ummu Usaid”.
Al-Hafizh
Ibnu Hajar berkata: “Dalam hadits ini terdapat keterangan tentang kebolehan
berkhidmahnya seorang isteri terhadap suaminya dan para tamunya. Tentunya hal
ini bila saat aman dari adanya fitnah, juga perempuan tersebut harus dengan
menjaga apa yang seharusnya [menutup aurat]. Juga dalam hadits ini terdapat
keterangan bahwa seorang suami boleh meminta tolong [khidmah] kepada isteri”
[10].
Ibn
al Mundzir, salah seorang imam mujtahid, dalam kitabnya al-Awsath, berkata: “Mengkhabarkan
kepada kami ‘Ali ibn ‘Abd al-‘Aziz, ia berkata:: Mengkhabarkan kepada kami
Hajjaj, ia berkata:: Mengkhabarkankan kepada kami dari Tsabit dan Humaid dari
Anas, beliau berkata: Kami bersama Abu Musa al-Asy’ari, kami shalat di
al-Mirbad, kemudian kami duduk di masjid al-Jami’, dan kami melihat al-Mughirah
ibn Syu’bah shalat bersama orang banyak, kaum laki-laki dan kaum perempuan
bercampur, lalu kamipun shalat bersamanya” [11].
Ibnu
Hibban meriwayatkan dari Sahl ibn Sa’d, berkata: “Kami kaum perempuan di masa
Rasulullah diperintah untuk tidak mengangkat kepala hingga kaum laki-laki
mengambil tempat duduknya masing-masing, karena sempitnya pakaian [yang mereka
kenakan]” [12].
Dua
hadits di atas merupakan dalil bahwa berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum
perempuan dalam satu tempat adalah sesuatu yang boleh, sekalipun tidak ada
penghalang (sitar) antara mereka.
Artinya bahwa ikhthilath antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan adalah hal yang boleh selama tidak ada persentuhan.
Adapun ikhtilath yang diharamkan
adalah yang disertai dengan adanya persentuhan tubuh.
An-Nawawi
dalam syarahnya terhadap kitab al-Muhadzdzab, berkata: “...karena
sesungguhnya ikhtilath antara kaum
laki-laki dan kaum perempuan jika bukan khalwah adalah sesuatu yang bukan haram”
[13].
Perkataan
an-Nawawi di atas sesuai dengan petunjuk hadits Ibn ‘Abbas, bahwa Rasulullah
bersabda bagi kaum perempuan saat mereka berbaiat:
" إنما أنبئكن عن المعروف الذي لا تعصينني فيه أن لا تخلون بالرجال
وحدانا ولا تنحن نوحة الجاهلية "
Maknanya
: "Aku beritahukan kepada kalian tentang
kabaikan (al-Ma’ruf) yang tidak boleh kalian durhaka kepadaku dalam hal ini;
[ialah] janganlah kalian berkhalwah dengan kaum laki-laki dalam keadaan sendiri
dan janganlah kalian menjerit-jerit [an-Niyahah; karena kematian seseorang]
seperti menjerit-jeritnya kaum jahiliyah". (H.R. Al-Hafizh Ibnu Jarir
at-Thabari)
Para
ulama fiqh telah mencatat bahwa bila ada dua orang laki-laki bersama dengan satu
orang perempuan atau dua orang perempuan dengan satu orang laki-laki bukan
tergolong khalwah yang diharamkan.
Syekh Zakariyya al-Anshari asy-Syafi’i dalam Syarh Raudl ath-Thalib, berkata: “Boleh
bagi seorang laki-laki untuk berkumpul dengan dua orang perempuan yang dapat
dipercaya [tsiqah]” [14].
Demikian pula disebutkan oleh Syekh Muhammad al-Amir al-Maliki [15].
Yang
diharamkan adalah khalwah antara satu
orang laki-laki dengan satu orang perempuan, sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi:
" لا يخلون رجل بامرأة إلا كان ثالثهما الشيطان "
Maknanya:
"Tidaklah sekali-kali seorang laki-laki
berkhalwah dengan seorang perempuan kecuali orang ketiganya adalah syetan".
Hadits Shahih riwayat at-Tirmidzi [16].
Dalam
hadits lain Rasulullah bersabda:
" لا يدخلن رجل على مغيبة إلا ومعه رجل أو رجلان "
Maknanya:
"Janganlah seorang laki-laki masuk
[rumah] seorang perempuan yang sedang ditinggal suaminya, kecuali bersamanya
satu laki-laki lain atau dua laki-laki”. (H.R. Muslim [17]
dan
lainnya [18])
Hukum
yang diintisarikan dari hadits-hadits di atas ialah bahwa berkumpulnya antara
laki-laki dan perempuan jika tiga orang atau lebih adalah sesuatu yang boleh.
Kebolehan ini berlaku dalam berbagai keadaan [mutlak]; baik untuk kepentingan
dunia selama tidak mengandung kemaksiatan, maupun untuk kepentingan agama;
seperti belajar ilmu agama atau dzikir. Dengan keharusan perempuannya menutup
aurat.
Dengan
demikian orang yang mengharamkan berkumpulnya kaum laki-laki dan kaum perempuan
terlebih dengan tujuan belajar ilmu agama maka ia telah mengharamkan sesuatu
yang tidak diharamkan Allah. Ini jelas merupakan kesesatan dan kebodohan.
Padahal dalam hadits telah diriwayatkan bahwa kaum perempuan shalat berjama’ah
bersama Rasulullah. Mereka berada di barisan belakang setelah barisan kaum
laki-laki, dan di antara mereka tidak ada penghalang (sitar). Kemudian juga dalam Shahih
al-Bukhari [19]
diriwayatkan bahwa Rasulullah menyuruh kaum perempuan di hari raya untuk ikut
shalat ied di satu tempat di Madinah di dekat masjid [nabawi]. Saat itu banyak
kaum perempuan muda shalat ied di belakang Rasulullah, sementara kaum perempuan
lainnya yang sedang haidl menyaksikan dari jauh, untuk mendapatkan kebaikan.
Dalam beberapa kesempatan lainnya Rasulullah turun langsung bersama Bilal di
mendatangi (menghampiri) kaum perempuan untuk memberikan wejangan kepada mereka.
Kemudian dalam Shahih al-Bukhari ada sebuah bab yang beliau namakan dengan: “Bab
Nasehat Imam [pemimpin] bagi kaum perempuan di hari raya”.
Dan
karena itulah tradisi kaum Muslimin masih berlanjut dari dahulu hingga sekarang
bahwa para ulama menentukan waktu dan tempat khusus di samping masjid atau di
tempat lainnya untuk mengajar kaum perempuan.
Setelah
penjelasan panjang lebar yang dikutip dari hadits-hadits shahih dan pernyataan
para ulama di atas, tidak layak bagi seseorang untuk membangkang. Apakah yang
diharapkan dari sikap membangkang jika hadits-hadits shahih merupakan dalil ?.
Para ulama mujtahid memberikan tauladan kepada kita untuk berpegang teguh dengan
teks-teks syari’at yang memang shahih. Simak bagaimana pernyataan Imam
as-Syafi’i: “Jika sebuah hadits telah shahih maka itulah madzhabku”. As-Syafi’i
seorang ulama mujtahid berkata demikian, lantas siapakah si pembangkang itu
dibanding asy-Syafi’i ?!.