- Back to Home »
- Ziarah ke Makam Rasulullah SAW.
Posted by : Unknown
Friday, November 14, 2014
ZIARAH
KE MAKAM RASULULLAH SAW
Sebagian
orang yang mengaku dirinya sebagai ulama mengklaim bahwa melakukan perjalanan
(safar) dengan tujuan ziarah ke makam
nabi atau wali adalah maksiat yang haram dilakukan. Pernyataan ini sama sekali
tidak berdasar. Bahkan bertentangan dengan ijma' (kesepakatan para ulama) dari
kalangan madzhab yang empat dan juga ulama selain madzhab empat. Yakni ulama
sejati yang dapat dipercaya fatwa-fatwa mereka.
Ziarah
ke makam nabi hukumnya adalah sunnah. Baik bagi orang yang berdomisili di
Madinah maupun bagi mereka yang tinggal jauh dari Madinah. Tegasnya, menempuh
perjalanan dari luar kota Madinah ke Madinah dengan niat hanya berziarah ke
makam beliau adalah sunnah dan sudah barang tentu pelakunya mendapat pahala dari
Allah 'azza wajalla.
Banyak
hadits dan atsar yang bisa dijadikan dalil atas hal ini. Di antaranya adalah
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya, ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dan al Awsath dan al Hakim dalam Mustadrak-nya bahwasanya "pada suatu
hari datang Marwan (Marwan ibn al Hakam, salah seorang khalifah bani Umayyah).
Dia mendapati seseorang meletakkan wajahnya di atas makam Rasulullah (karena
rindu dan ingin memperoleh berkah dari beliau). Marwan menghardik orang itu:
"Tahukah kamu apa yang sedang kamu perbuat ?", lalu orang itu menoleh dan
ternyata dia adalah Abu Ayyub al Anshari (salah seorang sahabat nabi) kemudian
berkata: "Ya, aku mendatangi Rasulullah dan aku tidak mendatangi sebongkah batu,
aku mendengar Rasulullah shallallahu
'alayhi wasallam bersabda: "Jangan tangisi agama ini jika ia dikendalikan
oleh ahlinya, tetapi tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh yang
bukan ahlinya". Maksudnya, Anda, wahai Marwan tidak layak menjadi
khalifah.
Ibn
Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
bersabda:
"مَنْ جَاءَنِيْ زائِرًا لاَ يَهُمُّهُ إلاَّ زِيَارَتِيْ كَانَ
حَقًّا عَلَيَّ أنْ أكُوْنَ لَهُ شَفِيْعًا" (رَوَاهُ الطَّبَرَانِي)
Maknanya:
"Barangsiapa mendatangiku untuk
berziarah, tidak ada tujuan lain kecuali ziarah (ke makam) ku maka sungguh
menjadi hak bagiku untuk memberikan syafa'at kepadanya" (H.R. ath-Thabarani
dan dishahihkan oleh al Hafidz Sa'id ibn as-Sakan dalam as-Sunan as-Shihah; kitab yang beliau
karang khusus memuat hadits-hadits yang disepakati kesahihannya, seperti halnya
Shahih al Bukhari dan Shahih Muslim, lihat: Ithaf as-Sadah al Muttaqin karya al
Hafizh az-Zabidi, juz IV, hlm. 416).
Dalam
hadits lain, beliau bersabda:
"مَنْ زَارَ قَبْرِيْ وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِيْ" (رَوَاهُ الدَّارَ
قُطْنِيّ)
Maknanya:
“Barangsiapa berziarah ke makamku maka
pasti akan memperoleh syafa'atku". (H.R. ad-Daraquthni, dan adz-Dzahabi
berkomentar: "Hadits ini menjadi kuat dengan adanya jalur sanad yang
berbeda-beda", lihat: Manahil ash-Shafa
fi Takhrij Ahadits asy-Syifa karya
as-Suyuthi, hlm. 308).
Dalam
kitab Wafa' al Wafa, juz IV, hlm.
1045, as-Samhudi meriwayatkan bahwa
Bilal ibn Rabah ketika berada di daerah Syam bermimpi melihat Rasulullah
bersabda kepadanya: "Sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal...!" (Ma hadzihi al jafwah). Ketika terjaga
dari tidurnya, Bilal langsung menaiki hewan tunggangannya dan bergegas menuju
Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan
membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah
".
Al-Hakim
meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda:
" لَيَهْبَطَنَّ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً وَإِمَامًا
مُقْسِطًا وَلَيَسْلُكَنَّ فَجًّا حَاجًّا أوْ مُعْتَمِرًا أوْ بِنِيَّتِهِمَا
وَلَيَأْتِيَنَّ قَبْرِيْ حَتَّى يُسَلِّمَ عَلَيَّ وَلأرُدَنَّ عَلَيْه " رَوَاهُ الحَاكِمُ وَصَحَّحَهُ
الذَّهَبِيّ
Maknanya:
“Sungguh, Isa ibn Maryam akan turun
menjadi penguasa dan Imam yang adil, dia akan menempuh perjalanan untuk pergi
haji atau umrah atau dengan niat keduanya dan sungguh, dia akan mendatangi
makamku sehingga berucap salam kepadaku dan aku pasti akan menjawabnya"
(diriwayatkan oleh al Hakim
dalam al Mustadrak
dan dishahihkannya serta disetujui oleh adz-Dzahabi).
Al
Hafizh 'Abdurrahman ibn al Jawzi mengisahkan dalam kitabnya, al Wafa bi Ahwaal al Musthafa dan kisah
ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi bahwa Abu Bakr al
Minqari berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di
Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami,
pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam
Rasulullah dan mengadu: “Wahai Rasulullah! lapar...lapar”, lalu aku kembali. Abu
as-Syaikh berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau
tidak, kita akan) mati". Abu Bakr melanjutkan kisahnya: "Kemudian aku dan Abu
asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu.
Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi
(sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu
ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang
masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu
makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata
ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah kami
selesai makan, 'Alawi itu berkata:
"Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, sesungguhnya aku tadi
mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada
kalian". Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahwa menurut mereka,
mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighatsah) adalah boleh dan baik.
Siapapun mengetahui bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli
hadits kenamaan) adalah ulama–ulama besar Islam. Dan kalau mau ditelusuri,
banyak sekali cerita–cerita semacam ini .
Dalam
kitab asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al
Mushthafa, al Qadli 'Iyadl menulis: "Ketika khalifah al Manshur menunaikan
ibadah haji lalu ziarah ke makam Rasulullah, ia bertanya kepada Imam Malik (guru
Imam Syafi'i): "Aku menghadap kiblat dan berdo'a ataukah aku menghadap (makam)
Rasulullah?". Imam Malik menjawab: "Kenapa anda memalingkan wajah dari beliau
sedangkan beliau adalah wasilah anda
dan wasilah bapak anda, Adam ‘alayhissalam ?, menghadaplah kepada
beliau dan berdo'alah kepada Allah agar anda memperoleh syafa'at dari beliau,
niscaya Allah akan menjadikan beliau pemberi syafaat bagi anda". Cerita ini
adalah shahih tanpa ada perselisihan pendapat, sebagaimana yang dikatakan Imam
Taqiyyuddin al Hushni (lihat: Daf'u
Syubah man Syabbaha wa Tamarrada, hlm. 74 dan 115).
Dalam
kitab Tuhfah Ibn 'Asakir, sebagaimana
dikutip oleh as-Samhudi dalam Wafa' al
Wafa, juz IV, hlm. 1405 bahwa ketika Rasulullah dimakamkan, Fatimah datang
kemudian berdiri di samping makam beliau lalu mengambil segenggam tanah dari
makam dan ia letakkan (sentuhkan) tanah itu ke matanya kemudian ia
menangis…".
Dalam
kitab al Ilal wa Ma'rifat ar-Rijal,
juz II, hlm. 35, dituturkan bahwa aku (Abdullah, putra Ahmad ibn Hanbal)
bertanya kepadanya (kepada ayahnya, Imam Ahmad) tentang orang yang menyentuh
mimbar nabi dengan niat agar mendapatkan berkah dengan menyentuh dan menciumnya,
dan melakukan hal yang sama atau semacamnya terhadap makam Rasulullah dengan
niat mendekatkan diri kepada Allah 'azza
wajalla. Imam Ahmad menjawab: "Tidak mengapa (la ba'sa bi
dzalik)".
Lebih
dari itu, para ulama dalam kitab-kitab karangan mereka telah menjelaskan bahwa
ziarah ke makam Rasulullah hukumnya adalah sunnah dan selalu disebutkan dalam
rangkaian manasik haji (lihat kitab-kitab fiqh tentang manasik haji seperti al Idlah karya an-Nawawi, at-Tadzkirah karya Ibn 'Aqil al Hanbali
dan lain-lain). Dan hukum kesunnahan itu adalah ijma'. Di antara mereka yang
menegaskan hal tersebut adalah Imam Taqiyyuddin as-Subki dalam kitab Syifa' as-Saqam Fi Ziyarah Khair al
Anam, hlm. 65-66, al Qadli 'Iyadl al Maliki dalam karyanya asy-Syifa bi Ta'rif Huquq al Mushthafa
juz II, hlm. 83, Imam an-Nawawi dalam Matn al 'Idlah fi al Manasik, hlm. 156,
beliau mengatakan tentang ziarah ke makam Rasulullah:
"فَإِنَّهَا مِنْ أهَمِّ القُرُبَاتِ وَأنْجَحِ
المَسَاعِي"
Maknanya:
“Ia tergolong hal terpenting untuk
mendekatkan diri kepada Allah dan termasuk usaha paling sukses
(baik)".
Selanjutnya
adalah al Hafizh adl Dliya' al Maqdisi dalam Fadlail al A'mal, hlm. 108, beliau
menuturkan beberapa hadits sebagai dalil penguat hal itu, di
antaranya:
"مَنْ حَجَّ فَزَارَ قَبْرِيْ بَعْدَ
وَفَاتِي فَكَأنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي"
Maknanya:
“Barangsiapa pergi haji kemudian ziarah
ke makamku setelah aku wafat maka seakan-akan ia telah mengunjungiku sewaktu aku
masih hidup".
Ulama
lain yang menyatakan kesunnahan ziarah ke makam Rasulullah adalah al Hafizh Ibn
Hajar al 'Asqalany dalam Fath al Bari
juz III, hlm. 65-66, Syekh Taqiyyuddin al Hushni (pengarang Kifayatul Akhyar) dalam kitabnya Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada
hlm. 94-95, al Hafizh Abu Zur'ah al 'Iraqi dalam Tharh at-Tatsrib Fi Syarh at-Taqrib hlm.
43, Syekh Ibn Hajar al Haytami dalam al
Jawhar al Munazhzham Fi Ziyarah al Qabr asy-Syarif an-Nabawi al Mukarram
hlm. 27-28 dan masih banyak lagi yang lain.
Seseorang
yang berziarah ke makam Rasulullah dianjurkan untuk berdo'a di sana, sebagaimana
hal itu disebutkan oleh ulama-ulama empat madzhab. Di antaranya adalah Imam Abu
Abdillah as-Samiri dalam al
Mustaw'ab, an-Nawawi dalam al
'Idlah, Abu Mansur al Kirmani al Hanafi dan lain-lain (lihat nama-nama dan
pernyataan mereka mengenai hal ini dalam Daf'u Syubah Man Syabbaha Wa Tamarrada,
hlm. 115-116).
Terakhir,
penting untuk diketahui bahwa ziarah ke makam Rasulullah atau ke makam
orang-orang shaleh lainnya bukan berarti menyembah mereka. Mereka hanyalah wasilah (perantara) kita kepada Allah
dalam berdo'a. Karenanya, al Imam Syamsuddin Ibn al Jazary —seorang imam besar
dalam hadits dan ilmu qira'at—menyatakan:
"مِنْ مَوَاضِع إجَابَةِ الدُّعَاءِ قُبُوْرُ
الصَّالِحِيْنَ"
Maknanya:
“Termasuk tempat yang sering menyebabkan
do'a terkabul adalah kuburan orang-orang yang shaleh". (al Hishn al Hashin dan 'Uddah al Hishn al
Hashin).
Kalau
ada orang yang berziarah ke suatu makam dengan niat menyembah orang yang ada
dalam makam atau dengan membawa keyakinan bahwa si mayit bisa mendatangkan
manfaat atau menolak bahaya dengan sendirinya tanpa seizin Allah, tentu saja,
dia adalah musyrik.