- Back to Home »
- Tawassul dan Tabarruk
Posted by : Unknown
Friday, November 14, 2014
TAWASSUL
DAN TABARRUK
Dalam
hadits shahih bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan
kepada sebagian umatnya untuk berdo'a di belakangnya (tidak di hadapannya)
dengan mengucapkan:
"اللهم إني أسألك وأتوجه
إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى
لي"
Maknanya:
"Ya Allah aku memohon dan memanjatkan
do'a kepada-Mu dengan Nabi kami Muhammad; Nabi pembawa rahmat, wahai Muhammad,
sesungguhnya aku memohon kepada Allah dengan engkau berkait dengan hajatku agar
dikabulkan".
Orang
tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah ini. Orang ini adalah seorang buta
yang ingin diberi kesembuhan dari butanya, akhirnya ia diberikan kesembuhan oleh
Allah di belakang Rasulullah (tidak di majlis Rasulullah) dan kembali ke majlis
Rasulullah dalam keadaan sembuh dan bisa melihat. Seorang sahabat yang lain
-yang menyaksikan langsung peristiwa ini, karena pada saat itu ia berada di
majelis Rasulullah- mengajarkan petunjuk ini kepada orang lain pada masa
khalifah Utsman ibn 'Affan –semoga Allah meridlainya- yang tengah mengajukan
permohonan kepada khalifah Utsman.
Pada
saat itu Sayyidina Utsman sedang sibuk dan tidak sempat memperhatikan orang ini.
Maka orang ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh orang buta
pada masa Rasulullah tersebut. Setelah itu ia
mendatangi Utsman ibn 'Affan dan akhirnya ia disambut oleh khalifah
'Utsman dan dipenuhi permohonannya. Umat Islam selanjutnya senantiasa
menyebutkan hadits ini dan mengamalkan isinya hingga sekarang. Para ahli hadits
juga menuliskan hadits ini dalam karya-karya mereka seperti al Hafizh at
Thabarani – beliau menyatakan dalam "al
Mu'jam al Kabir" dan "al Mu'jam
ash-Shaghir": "Hadits ini shahih" [1]
-, al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi,
al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama muta-akhkhirin yang lain.
Hadits
ini adalah dalil diperbolehkannya bertawassul dengan Nabi shallallahu 'alayhi wasallam pada saat
Nabi masih hidup di belakangnya (tidak di hadapannya). Hadits ini juga
menunjukkan bolehnya bertawassul dengan Nabi setelah beliau wafat seperti
diajarkan oleh perawi hadits tersebut, yaitu sahabat Utsman ibn Hunayf kepada
tamu sayyidina Utsman, karena memang hadits ini tidak hanya berlaku pada masa
Nabi hidup tetapi berlaku selamanya dan tidak ada yang menasakhkannya. Dari sini diketahui bahwa
orang-orang Wahhabi yang menyatakan bahwa tawassul adalah syirik dan kufur
berarti telah mengkafirkan ahli hadits tersebut yang mencantumkan hadits-hadits
ini untuk diamalkan. Semoga Allah melindungi kita dari paham yang tidak lurus
seperti paham orang-orang wahhabi ini. [2]
Dalam
hadits lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya dari Abu Sa'id al
Khudri –semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda :
"من خرج من بيته إلى الصلاة فقال : اللهم إني أسألك بحق السائلين
عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا
ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذنـي من
النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت ، أقبل الله عليه بوجهه
واستغفر له سبعون ألف ملك" (رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في
عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر
والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم). ومعنى "أقبل
الله عليه بوجهه" ليس على ظاهره بل هو مؤول بمعنى الرضا عنه .
Maknanya:
"Barangsiapa yang keluar dari rumahnya
untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a: "Ya Allah sesungguhnya
aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdo'a
kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat
langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk
menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya dan sum'ah, aku
keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon
kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku,
sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan
meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya" (H.R.
Ahmad dalam "al Musnad",
ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn
as-Sunni dalam" 'Amal al Yaum wa
al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka,
sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibn Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al
Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).
Dalam
hadits ini juga terdapat dalil dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin,
baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Hadits ini adalah salah satu
dalil Ahlussunnah Wal Jama'ah untuk membantah golongan Wahhabi yang mengharamkan
tawassul dan mengkafirkan pelakunya.
[3}
Sedangkan
tentang mengambil berkah dengan berziarah ke makam para nabi dan wali,
Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi
Musa berdoa :
" ربّ أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر "
Maknanya:
"Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt
al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu"
Kemudian
Rasulullah bersabda :
" والله لو أني عنده لأريتكم قبـره إلى جنب الطريق عند الكثيب
الأحمر"
Maknanya
: "Demi Allah, jika aku di dekat kuburan
Nabi Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan
di daerah al Katsib al Ahmar"
Al
Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata : "Dalam hadits ini terdapat dalil
kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke
sana dan memenuhi hak-haknya". Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh
Syamsuddin ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin :
ومن
مواضع إجابة الدعاء قبور الصالـحين
Maknanya:
" Di antara tempat dikabulkannya doa
adalah kuburan orang-orang yang saleh "
Apalagi
jika itu adalah kuburan Nabi Muhammad shallallahu 'alayhi wasallam seperti
yang dilakukan oleh sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani (H.R. al Bayhaqi, Ibn
Abi Syaybah dan lain-lain dan dishahihkan oleh al Bayhaqi dan Ibnu Katsir). Hal
ini juga dilakukan oleh al Imam asy-Syafi'i terhadap kuburan al Imam Abu
Hanifah.
___________________________________
[1].
Para
ahli hadits (Hafizh) telah menyatakan bahwa hadits ini shahih, baik yang marfu'
maupun kadar yang mawquf (peristiwa di masa sayyidina 'Utsman), di antaranya al
Hafizh ath-Thabarani. Masalah tawassul dengan para nabi dan orang saleh ini
hukumnya boleh dengan ijma' para ulama Islam sebagaimana dinyatakan oleh ulama
madzhab empat seperti al Mardawi al Hanbali dalam Kitabnya al Inshaf, al Imam
as-Subki asy-Syafi'i dalam kitabnya Syifa as-Saqam, Mulla Ali al Qari al Hanafi
dalam Syarh al Misykat, Ibn al Hajj al Maliki dalam kitabnya al
Madkhal
.
[2].
Golongan
Wahhabi adalah pengikut Muhammad ibn Abdul Wahhab an-Najdi. Mereka menyerupakan
Allah dengan makhluk-Nya, mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan para
nabi dan orang-orang shalih, mengharamkan peringatan maulid Nabi dan membaca al
Qur'an untuk orang-orang muslim yang sudah meninggal dan mereka memiliki banyak
kesesatan-kesesatan yang lain. Para ulama Ahlussunnah banyak sekali yang
membantah mereka ini seperti Mufti Madzhab Syafi'i di Makkah al Mukarramah Syekh
Ahmad Zaini Dahlan (W. 134 H) dalam kitab tarikh yang salah satu fasalnya
berjudul Fitnah al Wahhabiyyah, Mufti madzhab Hanbali di Makkah al Mukarramah
Syekh Muhammad ibn Abdullah ibn Humaid (W. 1295 H) dalam kitabnya as-Suhub al
Wabilah 'Ala Dlara-ih al Hanabilah, Syekh Ibn 'Abidin al Hanafi (W. 1252 H)
dalam Hasyiyahnya, Syekh Ahmad ash-Shawi al Maliki (W. 1241 H) dalam kitabnya
Hasyiyah 'Ala Tafsir al Jalalain. Bagi yang menginginkan penjelasan yang panjang
lebar baca kitab al Maqalat as-Sunniyyah fi Kasyfi Dlalalat Ahmad ibn
Taimiyah.
[3].
Di antara orang yang menyalahi Ahlussunnah dalam masalah ini adalah Yusuf al
Qardlawi. Ia menyatakan bahwa bertabarruk dengan peninggalan orang-orang yang
saleh termasuk syirik -wal 'iyadz billah- sebagaimana ia tuturkan dalam kitabnya
al Ibadah fi al Islam. Kesesatan al Qardlawi yang lain adalah seperti pernyataan
bahwa Rasulullah bisa saja salah dalam hal agama seperti ia sampaikan lewat
layar televisi al Jazirah, 12 september 1999. Al Qardlawi juga membolehkan bagi
seorang perempuan yang masuk Islam untuk tetap menjadi istri suaminya yang kafir
sebagaimana diangkat oleh Koran asy-Syarq al Awsath juga di situs-situs
internet. Al Qardlawi juga melarang membaca al Fatihah untuk orang-orang Islam
yang meninggal dunia, hal ini ia sampaikan lewat stasiun TV al Jazirah. Telah
banyak para ulama Islam yang membantah al Qardlawi di antaranya adalah Syekh
Nabil al Azhari, Syekh Khalil Daryan al Azhari, Mantan Menteri Agama dan Urusan
Wakaf Emirat Arab Syekh Muhammad ibn Ahmad al Khazraji, Rektor al Azhar
University Dr. Ahmad Umar Hasim, Dr. Shuhaib asy-Syami (Amin Fatwa Halab,
Syiria), al Muhaddits Syekh Abdul Hayy al Ghumari, Dr. Sayyid Irsyad Ahmad al
Bukhari dan lain-lain. Di antara ulama Indonesia yang membantah al Qardlawi
adalah Habib Syekh ibn Ahmad al Musawa. Karena ini semua maka kita harus
mewaspadai karya-karya al Qardlawi.