- Back to Home »
- Ijtihad dan Taqlid
Posted by : Unknown
Friday, November 14, 2014
IJTIHAD
DAN TAQLID
Ijtihad
adalah mengeluarkan (menggali) hukum-hukum yang tidak terdapat nash (teks) yang jelas ; yang tidak
mengandung kecuali satu makna tentangnya.
Jadi
Mujtahid (orang yang melakukan
ijtihad) ialah orang yang memiliki keahlian dalam hal ini. Ia adalah seorang
yang hafal ayat-ayat ahkam,
hadits-hadits ahkam beserta
mengetahui sanad-sanad dan keadaan
para perawinya, mengetahui nasikh dan
mansukh, ‘am dan khash, muthlaq dan muqayyad serta menguasai betul bahasa Arab dengan
sekira hafal pemaknaan-pemaknaan setiap nash sesuai dengan bahasa al Qur’an,
mengetahui apa yang telah disepakati oleh para ahli ijtihad dan apa yang
diperselisihkan oleh mereka, karena jika tidak mengetahui hal ini maka
dimungkinkan ia menyalahi ijma' (konsensus para ulama) para ulama
sebelumnya.
Lebih
dari syarat-syarat di atas, masih ada sebuah syarat besar lagi yang harus
terpenuhi dalam berijtihad yaitu kekuatan pemahaman dan nalar. Kemudian juga
disyaratkan memiliki sifat ‘adalah;
yaitu selamat dari dosa-dosa besar dan tidak membiasakan berbuat dosa-dosa kecil
yang bila diperkirakan secara hitungan jumlah dosa kecilnya tersebut melebihi
jumlah perbuatan baiknya.
Sedangkan
Muqallid (orang yang melakukan taqlid; mengikuti pendapat para
mujtahid) adalah orang yang belum sampai kepada derajat tersebut di
atas.
Dalil
bahwa orang Islam terbagi kepada dua tingkatan ini adalah hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
" نضر الله امرأ سمع مقالتي فوعاها فأداها كما سمعها ، فربّ حامل
مبلغ لا فقه عنده " (رواه الترمذي وابن
حبان)
Maknanya
: “Allah memberikan kemuliaan kepada
seseorang yang mendengar perkataanKu, kemudian ia menjaganya dan menyampaikannya
sebagaimana ia mendengarnya, betapa banyak orang yang menyampaikan tapi tidak
memiliki pemahaman”. (H.R. at-Tirmidzi dan Ibnu
Hibban)
Bukti
terdapat pada lafazh: فربّ مبلغ
لا فقه عنده ""
“Betapa banyak orang yang
menyampaikan tapi tidak memiliki pemahaman”.
Dalam
riwayat lain: "وربّ مبلغ أوعى من سامع"
“Betapa banyak orang yang mendengar
(disampaikan kepadanya hadits) lebih mengerti dari yang menyampaikan”.
Bagian
dari lafazh hadits tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa di antara
sebagian orang yang mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam ada yang
hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya terhadap kandungan hadits tersebut
kurang dari pemahaman orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan
kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan untuk menggali dan
mengeluarkan hukum-hukum dan masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di dalam
hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian sahabat Nabi ada yang
pemahamannya kurang dari para murid dan orang yang mendengar hadits darinya.
Pada lafazh lain hadits ini:
" فربّ حامل فقه إلى من هو أفقه منه "
“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada
orang yang lebih paham darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
Mujtahid
dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu 'alayhi
wasallam:
" إذا اجـتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإذا اجـتهد فأخطأ فله أجر
" (رواه البخاري)
Maknanya:
“Apabila seorang Penguasa berijtihad dan
benar maka ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu
pahala”. (H.R. al Bukhari)
Dalam
hadits ini disebutkan Penguasa (الحاكم) secara khusus karena ia
lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad dari pada lainnya. Di kalangan para
ulama salaf, terdapat para mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para
khalifah yang enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali, ‘Umar ibn
‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.
Para
ulama hadits yang menulis karya-karya dalam Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa
dari kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar enam menurut
suatu pendapat. Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang mencapati tingkatan
Mujtahid dan ini pendapat yang lebih sahih. Jika keadaan para sahabat saja
demikian adanya maka bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca al
Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata: “Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan
kita juga manusia, tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal
telah terbukti dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan
mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada
ahli ijtihad yang ada di kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan
bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri majikannya. Lalu
ayah pekerja tersebut bertanya tentang hukuman atas anaknya, ada yang
mengatakan: “Hukuman atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan
(memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang ayah kembali bertanya
kepada ahli ilmu, jawab mereka: “Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan
diasingkan satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersama
suami perempuan tadi dan berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya anakkku ini
bekerja kepada orang ini, lalu ia berbuat zina dengan isterinya. Ada yang
berkata kepadaku hukuman atas anakku adalah dirajam, lalu aku menebus hukuman
rajam itu dengan membayar seratus ekor kambing dan (memerdekakan) seorang budak
perempuan. Lalu aku bertanya kepada para ahli ilmu dan mereka menjawab hukuman
anakmu adalah dicambuk seratus kali dan diasingkan satu tahun ?”. Rasulullah
berkata: “Aku pasti akan memberi
keputusan hukum terhadap kalian berdua dengan Kitabullah, al walidah (budak perempuan) dan kambing tersebut
dikembalikan kepadamu dan hukuman atas anakmu adalah dicambuk seratus kali dan
diasingkan (dari kampungnya sejauh jarak Qashar –sekitar 78 Km)
setahun”.
Laki-laki
tersebut sekalipun seorang sahabat tapi ia bertanya kepada para sahabat lainnya
dan jawaban mereka salah lalu ia bertanya kepada para ulama di kalangan mereka
hingga kemudian Rasulullah memberikan fatwa yang sesuai dengan apa yang
dikatakan oleh para ulama mereka. Dalam kejadian ini Rasulullah memberikan
pelajaran kepada kita bahwa sebagian sahabat sekalipun mereka mendengar langsung
hadits dari Nabi namun tidak semuanya memahaminya, artinya tidak semua sahabat
memiliki kemampuan untuk mengambil hukum dari hadits Nabi. Mereka ini hanya
berperan meriwayatkan hadits kepada lainnya sekalipun mereka memahami betul
bahasa Arab yang fasih. Dengan demikian sangatlah aneh orang-orang bodoh yang
berani mengatakan: “Mereka adalah manusia
dan kita juga manusia...”. Mereka yang dimaksud adalah para ulama mujtahid
seperti para imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan Ahmad ibn
Hanbal).
Senada
dengan hadits di atas, hadits yang diriwayatkan Abu Dawud tentang seorang
laki-laki yang terluka di kepalanya. Pada suatu malam yang dingin ia junub,
setelah ia bertanya tentang hukumnya kepada orang-orang yang bersamanya, mereka
menjawab: “Mandilah !”. Kemudian ia mandi dan meninggal (karena kedinginan).
Ketika Rasulullah dikabari tentang hal ini, beliau berkata: “Mereka telah
membunuhnya, semoga Allah membalas perbuatan mereka, Tidakkah mereka bertanya
kalau memang tidak tahu, karena obat ketidaktahuan adalah bertanya !”. Jadi obat
kebodohan adalah bertanya, bertanya kepada ahli ilmu. Lalu Rasulullah berkata :
" Sesungguhnya cukup bagi orang tersebut bertayammum, dan membalut lukanya
dengan kain lalu mengusap kain tersebut dan membasuh (mandi) sisa badannya".
(H.R. Abu Dawud dan lainnya). Dari kasus ini diketahui bahwa seandainya ijtihad
diperbolehkan bagi setiap orang Islam untuk melakukannya, tentunya Rasulullah
tidak akan mencela mereka yang memberi fatwa kepada orang junub tersebut padahal
mereka bukan ahli untuk berfatwa.
Kemudian
di antara tugas khusus seorang mujtahid adalah melakukan qiyas, yaitu mengambil
hukum bagi sesuatu yang tidak ada nashnya dengan sesuatu yang memiliki nash
karena ada kesamaan dan keserupaan antara keduanya.
Maka berhati-hati dan waspadalah
terhadap mereka yang menganjurkan para pengikutnya untuk berijtihad, padahal
mereka sendiri, juga para pengikutnya sangat jauh dari tingkatan ijtihad. Mereka
dan para pengikutnya adalah para pengacau dan perusak agama. Termasuk kategori
ini adalah orang-orang yang di majelis-majelis mereka biasa membagikan
lembaran-lembaran tafsiran suatu ayat atau hadits, padahal mereka tidak pernah
belajar ilmu agama secara langsung kepada para ulama. Orang-orang semacam ini
adalah golongan yang menyempal dan menyalahi para ulama Ushul Fiqh. Karena para
ulama ushul berkata: “Qiyas adalah pekerjaan seorang mujtahid”. Mereka juga
menyalahi para ulama ahli hadits.